Penulis: Nasrullah, Mahasiswa HTN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Foto: Dok/Ist). |
Suara Time, Kolom - Sebagai negara demokrasi, indonesia menjamin secara konstitusional hak pilih rakyatnya. Hak ini merupakan merupakan pengimplementasian UUD 1945 yang berbunyi “ kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. ” UUD yang secara tegas mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat menandakan bahwa rakyat memiliki peran utama dalam menentukan bagaimana arah negara kedepannya, oleh karena itu harus rakyat ikut andil sepenuhnya dalam memilih siapa yang akan menjadi pemimpin dan pengelola kebijakan kedepannya.
Idealnya, pememiliha calon pemimpin didasarkan pada hati nurani tanpa ada paksaan ataupun pengaruh dari pihak manapun untuk mewujudkan pemilu yang bersih, adil dan jujur. Sayang, praktiknya dilapangan banyak ditemui berbagai bentuk paksaan ataupun intervensi baik itu dari individu ataupun kelompok terntentu. Seperti contoh dipondok pesantren, seringkali ditemui cawe-cawe kyai terhadap hak pilih santrinya. Banyak kyai yang terjun kedunia politik menjadikan santrinya sebagai sumber massa suara dan basis dukungan politiknya. Sebagai panutan, sudah barang tentu kyai memiliki posisi yang sangat sentral dihadapan para santrinya. Hal ini menjadikan pengaruh kyai begitu kuat terhadap santri.
Dalam rangka memenangkan paslon pilihannya, kyai biasanya memberikan arahan kepada santrinya untuk memilih paslon tesebut, dengan alasan bahwa mereka sesuai dengan kriteria pemimpin yang baik menurut pertimbangan moral dan agama. Biasanya kyai memberikan penilaian pribadinya terhadap paslon dukungannya dan setelah itu memberikan rekomendasi kepada santrinya untuk memilih paslon tersebut. Meskipun hanya bersifat rekomendasi hal ini cukup efektif mengingat pengaruh kyai yang begitu kuat. Pendekatan seperti ini masih dalam batas wajar dan bisa di tolerir.
Namun tak jarang juga, ada kyai yang secara tegas mewajibkan santrinya untuk memilih paslon tersebut dan kadang disretai narasi-narasi intimifatif seperti ancaman tidak mendapatkan barokah dan sejenisnya. hal ini tentunya menjadi dilema besar bagi santri yang memiliki pilihan yang berbeda, antara ikut kyai atau pilihan sendiri. Sebagian hanya bisa mencoba husnudzon dengan berasumsi bahwa hal ini merupakan hasil ijtihad kyainya.
Demokrasi sangat menghormati hak individu, kebebasan berpendapat dan menghargai keaneka ragaman. Dalam proses pemilihan pemimpin, nilai-nilai itu mencoba di wujudkan dengan adanya pemilu yang berasaskan Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, jujur, adil). Pada praktik di atas sangat tampak adanya intervensi dan intimidasi, hal ini tentunya menyalahi nilai yang selama ini di perjuangkan oleh demokrasi tersendiri yaitu kebebasan, penghormatan terhadap hak individu dan keaneka ragaman pendapat. Sebagai pembimbing spritual, kyai memang punya celah untuk memberikan bimbingan dan panduan mengenai kriteria ideal seorang pemimpin untuk dipilih, namun tidak sampai mengarahkan, apalagi memaksakan pada pilihan politik pribadinya kepada orang lain.
Prefensi politik, baik dalam masalah pemilihan pemimpin maupun lainnya, sebaiknya didasarkan didasarkan pada hasil refleksi pribadi yang di hasilkan oleh pemahaman mendalam dan pengamatan secara objektif, sehingga hal ini menjadi ruang belajar santri untuk betul-betul bertangung jawab ataas pilihannya. Dengan diarahkan untuk memilih paslon tertentu, alih-alih membuka ruang belajar, hal itu justru berpotensi menjadi bentuk intervensi terhadap hak pilih yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. oleh sebab itu memberikan ruang bebas bagi santri untuk menentukan pilihan politiknya dengan membekali mereka pemahaman mengenai kriteria pemimpin yang tepat merupakan langkah dan lebih bijaksana.
*) Penulis adalah Nasrullah, Mahasiswa HTN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar0