GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

BRICS dan Indonesia: Platform Diplomasi Ekonomi di Tengah Ketidakpastian Global

Harry Yulianto

Penulis : Harry Yulianto (Akademisi STIE YPUP Makassar) 

Ketidakpastian global merupakan fenomena yang semakin sering dirasakan dalam beberapa dekade terakhir, terutama sejak krisis finansial global 2008 dan dampak pandemi COVID-19. Ketidakpastian ini meliputi volatilitas ekonomi, ketegangan geopolitik, serta perubahan cepat dalam kebijakan perdagangan internasional yang dapat mempengaruhi stabilitas pasar global. Pada konteks ini, ekonom seperti Giddens (2009) menjelaskan bahwa globalisasi telah menciptakan jaringan ketergantungan yang saling terkait, tetapi juga meningkatkan kerentanannya terhadap guncangan eksternal. Ketidakpastian juga semakin dipicu oleh transisi dari unipolaritas yang didominasi oleh Amerika Serikat ke multipolaritas, dengan munculnya kekuatan baru seperti China dan India. Hal tersebut berpotensi menambah kompleksitas dalam peta kekuatan geopolitik global yang belum sepenuhnya stabil.

Menurut teori ketergantungan (dependency theory) yang dikemukakan oleh dos Santos (1970) menyoroti bagaimana negara-negara berkembang seringkali terjebak dalam pola ketergantungan yang merugikan terhadap negara-negara maju, yang semakin diperparah oleh ketidakpastian dalam perdagangan dan finansial internasional. Ketidakpastian tersebut dapat menjadi tantangan besar bagi negara berkembang, seperti Indonesia, yang sangat bergantung pada pasar global dan stabilitas sistem ekonomi internasional. Negara-negara seperti Indonesia perlu mengadaptasi kebijakan ekonomi yang lebih fleksibel dan berorientasi pada kemitraan global yang lebih stabil, agar dapat bertahan dalam menghadapi gejolak ketidakpastian global.

Peranan BRICS di Level Global

BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) telah berkembang menjadi blok ekonomi yang memiliki peran signifikan di tingkat global sejak dibentuk pada awal 2000-an. Kelima negara tersebut memiliki lebih dari 40% populasi dunia dan kontribusi signifikan terhadap PDB global, serta peran yang semakin besar dalam perdagangan internasional. Menurut O'Neill (2001), yang memperkenalkan konsep BRICS, negara-negara tersebut memiliki potensi untuk menantang dominasi ekonomi negara-negara barat, khususnya dalam konteks keuangan dan perdagangan global. BRICS bukan hanya menjadi penggerak ekonomi baru, tetapi juga memperkenalkan ideologi baru tentang multilateralisme dan kemitraan ekonomi yang lebih adil, dan tidak sepenuhnya didasarkan pada kepentingan negara maju.

BRICS juga berfungsi sebagai counterbalance terhadap dominasi institusi global seperti IMF dan Bank Dunia, yang sering dianggap berpihak kepada negara-negara barat. Menurut teori geopolitik, hal ini dapat dipahami sebagai bentuk 'soft power' yang digunakan oleh negara-negara BRICS untuk mempengaruhi tatanan global melalui diplomasi dan kerjasama ekonomi. Dalam hal ini, pengaruh BRICS semakin menguat, karena menawarkan alternatif dalam sistem keuangan global dengan meluncurkan institusi seperti New Development Bank (NDB) dan BRICS Contingent Reserve Arrangement (CRA), yang dirancang untuk memberi lebih banyak ruang bagi negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan global.

Selain itu, BRICS memainkan peran penting dalam merumuskan kebijakan yang lebih adil dan berbasis kepentingan negara-negara berkembang dalam forum internasional. Melalui kerjasama politik dan ekonomi, BRICS berusaha untuk menyeimbangkan kekuatan global yang lebih tradisional dan mendukung kerjasama multilateral yang lebih inklusif. Menurut Smith (2021) dalam BRICS as a Counterbalance in Global Governance menyoroti bahwa BRICS semakin berfokus pada promosi kebijakan yang mencerminkan kebutuhan negara-negara berkembang, dan membantu menciptakan alternatif dalam arsitektur global yang seringkali didominasi oleh negara-negara maju.

Bergabungnya Indonesia dengan BRICS

Bergabungnya Indonesia dengan BRICS membuka potensi besar untuk mengakses pasar yang lebih luas dan memperkuat posisi tawar di tingkat global. Indonesia sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara memiliki potensi untuk memanfaatkan kerjasama dengan negara-negara BRICS dalam mempercepat pembangunan ekonomi domestik. Teori integrasi regional yang dikemukakan oleh Baldwin (2011) menegaskan bahwa integrasi ekonomi dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, memperluas pasar, dan menciptakan peluang bagi negara-negara anggota untuk saling mendukung dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Bergabung dengan BRICS memungkinkan Indonesia untuk memainkan peran yang lebih besar dalam dinamika ekonomi global.

Secara politik, Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara juga bisa mendapatkan keuntungan dalam hal memperkuat posisinya dalam forum-forum internasional yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan teori 'neorealisme' dalam hubungan internasional, yang mengedepankan pentingnya kekuatan negara dalam menentukan kebijakan luar negeri. Dengan masuknya Indonesia dalam BRICS, maka dapat meningkatkan leverage politiknya di tengah persaingan kekuatan global yang semakin ketat, terutama dalam menghadapi kebijakan negara-negara maju yang kadang merugikan negara berkembang. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS dapat memperkuat diplomasi ekonomi dan membuka peluang bagi kerjasama yang lebih erat dalam bidang perdagangan, investasi, maupun pembangunan infrastruktur.

Namun, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS juga mengundang tantangan, terutama dalam hal penyesuaian dengan kebijakan kolektif BRICS yang kadang berbeda dengan kepentingan Indonesia. Sebagai negara anggota baru, Indonesia perlu membangun strategi diplomasi yang cermat untuk memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terjaga dalam kerangka kerja BRICS. Indonesia harus mampu memanfaatkan jaringan diplomasi BRICS untuk mendorong posisinya pada diskursus global tanpa mengorbankan independensi politik dan ekonominya.

BRICS Untuk Memperkuat Diplomasi Ekonomi

BRICS sebagai sarana yang tepat bagi Indonesia untuk memperkuat diplomasi ekonominya di tingkat global. Dalam kerangka diplomasi ekonomi, teori 'public diplomacy' yang dikembangkan oleh Nye (2004) menunjukkan bagaimana negara dapat memanfaatkan kekuatan lembaga internasional dan kemitraan multilateral untuk memperkuat citra dan kepentingan ekonomi mereka di mata dunia. Indonesia, dengan bergabung ke dalam BRICS, tidak hanya memperluas hubungan perdagangan dengan negara-negara besar seperti China dan India, tetapi juga meningkatkan daya tawar dalam dialog ekonomi global. Hal tersebut memberi Indonesia akses lebih besar ke sumber daya finansial, teknologi, dan pengetahuan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan ekonomi domestik.

Melalui BRICS, Indonesia bisa meningkatkan partisipasinya pada berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang diluncurkan oleh New Development Bank (NDB), yang telah menjadi instrumen penting dalam pengembangan ekonomi negara berkembang. Teori pembangunan ekonomi yang dikemukakan oleh Todaro dan Smith (2009) menekankan pentingnya investasi dalam infrastruktur sebagai faktor kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan pembiayaan yang lebih murah dan mendukung proyek-proyek besar yang berpotensi meningkatkan kapasitas produksi dan mempercepat proses industrialisasi. Selain itu, keanggotaan Indonesia dalam BRICS dapat membuka peluang untuk memperkenalkan kebijakan perdagangan yang lebih menguntungkan, memperkuat integrasi ekonomi dengan negara-negara berkembang lainnya.

Pada ranah diplomasi ekonomi, Indonesia juga bisa memanfaatkan BRICS sebagai platform untuk memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam isu-isu global, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan ketidaksetaraan ekonomi. Menurut teori 'development diplomacy' yang diungkapkan oleh Lamy (2008), negara-negara berkembang seringkali lebih berhasil dalam mencapai tujuannya jika bekerja sama dalam kerangka yang lebih besar, seperti BRICS, untuk menghadapi tantangan global. BRICS tidak hanya menjadi ajang kerjasama ekonomi, tetapi juga forum strategis bagi Indonesia untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial dan ekonomi melalui kerja sama yang lebih adil.

BRICS sebagai Langkah Strategis Indonesia Menuju Kemandirian Ekonomi

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS dapat dipandang sebagai langkah strategis untuk mempercepat pencapaian kemandirian ekonomi. Menurut teori kemandirian ekonomi yang dikemukakan oleh Hirschman (1958), negara-negara berkembang harus mengurangi ketergantungan pada kekuatan ekonomi eksternal dan berusaha untuk memperkuat sektor-sektor ekonomi domestik. BRICS memberi Indonesia peluang untuk mengakses pasar baru, memperluas kerjasama teknologi, dan mengurangi ketergantungan pada negara-negara maju. Indonesia dapat mengembangkan kebijakan ekonomi yang lebih berfokus pada pemberdayaan sektor domestik dan diversifikasi ekonomi, yang merupakan langkah strategis menuju kemandirian ekonomi.

Selain itu, BRICS memberikan platform bagi Indonesia untuk mengeksplorasi peluang baru dalam perdagangan internasional dan investasi yang lebih menguntungkan. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, Indonesia dapat memperkuat peranannya sebagai pemain utama dalam ekonomi global yang tidak hanya bergantung pada negara-negara maju. Sehingga, bergabung dengan BRICS bukan hanya sebuah langkah diplomatik, tetapi juga merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk mencapai kemandirian ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS sebagai peluang untuk mencapai kemandirian ekonomi yang lebih baik, mengingat Indonesia dapat memperkuat daya tawarnya dalam hubungan internasional. Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS membuka jalan bagi pembentukan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan, sehingga dapat mendukung tercapainya kemandirian ekonomi jangka panjang. Indonesia harus memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan negara-negara BRICS, serta mendukung reformasi ekonomi global yang lebih inklusif.

Komentar0

Type above and press Enter to search.