GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Mengkritisi Lambatnya Proses Penurunan Angka Stunting Sesuai Target di Tahun 2024

Ilustrasi: Pixabay/PixelLoverK3)

Penulis: Muhammad Komarudin (Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)

Stunting merupakan masalah serius yang terus menjadi tantangan ketahanan pangan di Indonesia. Stunting tidak hanya berdampak pada kondisi fisik anak, namun juga berdampak pada perkembangan kognitif dan kinerja jangka panjang akibat perkembangan otak yang kurang optimal. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 yang dipublikasikan di sehatnegeriku.kemkes.go.id, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,5%, turun sekitar 0,8% dibandingkan tahun 2022. Meski angka tersebut masih  jauh dari target, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhajir Effendi mengatakan kepada Dewan Koordinasi Nasional bahwa stunting akan berkurang sebesar 14% pada akhir tahun 2024.

Ketua (Kemenkes) M. Bapak Shahrir mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan ini, pemerintah menerapkan dua intervensi: intervensi nutrisi spesifik dan intervensi sensitif. Ia menjelaskan, intervensi nutrisi spesifik fokus pada penanganan penyebab langsung stunting, seperti: pola makan dan asupan gizi yang tidak mencukupi, infeksi dan penyakit. Sementara itu, intervensi nutrisi sensitif terkait dengan penyediaan air bersih dan peningkatan akses terhadap pangan menjadi sasaran keluarga dan masyarakat.

Umumnya intervensi gizi khusus dilaksanakan oleh sektor kesehatan, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Intervensi khusus diberikan kepada perempuan muda, perempuan hamil, bayi, dan anak kecil. Program intervensi ini bertujuan untuk mencegah anemia pada remaja putri dengan pemberian tablet produk darah seminggu sekali, melakukan tes kehamilan pada ibu hamil minimal enam kali, dan pemberian tablet produk darah pada ibu hamil. Selain itu, Kementerian Kesehatan akan menggalakkan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan, memantau pertumbuhan balita di Posyandu setiap bulan, dan memberikan susu formula bayi yang kaya protein hewani pada bayi usia enam sampai dengan 23 bulan, serta memberikan perawatan pada bayi yang mengalami masalah gizi.

Lambatnya pengurangan angka stunting di Indonesia, meskipun terdapat penurunan prevalensi sebesar 0,8% pada tahun 2023, mengindikasikan bahwa program intervensi yang ada belum berjalan optimal. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya konsistensi implementasi program di lapangan, rendahnya cakupan sasaran, atau hambatan dalam distribusi bantuan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Meskipun pemerintah menerapkan intervensi nutrisi spesifik dan sensitif, dampak dari faktor sosial-ekonomi dan budaya tampaknya kurang diperhatikan. Masalah seperti kemiskinan, kurangnya edukasi gizi di masyarakat, dan kebiasaan pola makan yang kurang sehat masih menjadi tantangan besar. Tanpa penyelesaian pada akar masalah ini, target pengurangan angka stunting sulit dicapai.  

Meskipun intervensi gizi spesifik dan sensitif memerlukan keterlibatan lintas sektor, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Pendidikan, koordinasi yang kurang sinergis dapat menghambat efektivitas program. Misalnya, jika penyediaan air bersih (intervensi sensitif) tidak berjalan selaras dengan edukasi gizi (intervensi spesifik), maka hasil yang diharapkan menjadi tidak maksimal. Program pemerintah sering kali terhambat oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi seimbang dan perawatan kesehatan. Pemberian tablet darah, ASI eksklusif, dan pemantauan Posyandu, misalnya, memerlukan kerja sama aktif dari masyarakat. Namun, tanpa edukasi yang efektif, banyak keluarga yang tidak memanfaatkan fasilitas ini dengan baik.  

Indonesia memiliki tantangan geografis yang besar, terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau. Program intervensi yang bergantung pada distribusi barang dan layanan kesehatan sering kali tidak mampu menjangkau masyarakat di wilayah ini. Pendekatan yang dilakukan masih bersifat konvensional, seperti distribusi tablet darah dan pemberian ASI. Diperlukan inovasi program yang lebih komprehensif, seperti teknologi berbasis aplikasi untuk memantau kesehatan ibu dan anak, peningkatan pendidikan gizi melalui media sosial, atau kolaborasi dengan sektor swasta dalam mendukung program pemberantasan stunting.  

Meskipun upaya pemerintah sudah berjalan, lambatnya penurunan angka stunting menunjukkan adanya kekurangan dalam implementasi, edukasi masyarakat, dan koordinasi antar-sektor. Perlu ada pendekatan yang lebih menyeluruh, inovatif, dan berkelanjutan untuk mencapai target 14% pada akhir tahun 2024.

Komentar0

Type above and press Enter to search.