Ilustrasi - (Foto: Dok/Ist). |
Suaratime, Opini - Gaya hidup hedonis di kalangan siswa sekolah semakin hari makin terasa. Mulai dari media sosial hingga lingkungan pergaulan, semuanya seakan mendorong anak muda untuk mengejar kesenangan tanpa henti. Mereka terobsesi dengan penampilan, popularitas, gadget terbaru, hingga liburan mewah. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat menanamkan nilai-nilai positif dan Islami, justru sering menjadi saksi bisu bagaimana nilai-nilai tersebut terkikis perlahan. Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana siswa yang lebih peduli dengan tampilan Instagram atau TikTok mereka daripada memperhatikan pelajaran di kelas. Mereka berlomba-lomba mencari pengakuan sosial, mengikuti tren fashion terkini, dan terlibat dalam gaya hidup konsumtif yang bertolak belakang dengan nilai-nilai kesederhanaan dalam Islam. Ini bukan hanya tentang pakaian atau penampilan, tapi juga tentang mindset yang mereka bangun: bahwa kebahagiaan itu berasal dari materi, dari hal-hal yang bersifat sementara.
Tidak bisa dipungkiri, pengaruh media sangat besar dalam membentuk pola pikir ini. Tayangan di YouTube, selebgram, dan konten influencer yang sering kali menampilkan kehidupan serba mewah, seolah menjadi standar baru kebahagiaan. Bagi sebagian siswa, menjadi kaya dan terkenal adalah tujuan utama hidup, meskipun harus mengorbankan nilai-nilai seperti kesederhanaan, kepedulian, atau tanggung jawab terhadap sesama. Di sekolah, dampak gaya hidup hedonis ini juga terlihat dalam interaksi sosial. Beberapa siswa lebih suka memilih teman berdasarkan status sosial atau seberapa populer mereka di media sosial. Fenomena ini perlahan merusak nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas yang seharusnya dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Siswa yang mungkin tidak mengikuti tren terkini atau tidak memiliki gadget terbaru sering kali dianggap “tidak keren” dan terpinggirkan.
Gaya hidup hedonis juga mendorong siswa untuk mencari kepuasan instan, yang membuat mereka sulit untuk fokus pada hal-hal yang memerlukan usaha jangka panjang, seperti belajar atau menghafal Al-Qur'an. Alih-alih memperdalam ilmu agama atau terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat, banyak dari mereka yang lebih tertarik mencari hiburan tanpa henti. Nilai-nilai Islami seperti disiplin, kerja keras, dan tawakal kepada Allah sering kali dianggap kuno atau tidak relevan dalam konteks kehidupan mereka yang lebih didorong oleh tren modern. Salah satu dampak paling nyata dari gaya hidup ini adalah hilangnya makna spiritual dalam kehidupan sehari-hari siswa. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan hiburan duniawi daripada merenungkan tujuan hidup yang sebenarnya, yakni beribadah kepada Allah dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. Konsep kebahagiaan dalam Islam, yang menekankan pada keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, sering kali terabaikan.
Fenomena ini juga mempengaruhi cara siswa memandang kesuksesan. Kesuksesan diukur dari seberapa banyak pengikut di media sosial, seberapa mewah barang-barang yang dimiliki, atau seberapa banyak pengalaman liburan yang bisa dipamerkan. Padahal, Islam mengajarkan bahwa kesuksesan sejati adalah ketika seseorang mampu menjadi hamba Allah yang baik, menjaga hubungan yang baik dengan sesama, serta memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Nilai-nilai Islami seperti keikhlasan, kesabaran, dan rasa syukur menjadi semakin jarang terlihat di lingkungan sekolah. Sebagai gantinya, kita melihat siswa yang cenderung berperilaku egois, tidak sabar, dan selalu merasa kurang. Mereka terus-menerus mengejar hal-hal materi tanpa pernah merasa puas. Dalam Islam, konsep "qana'ah" atau merasa cukup adalah salah satu kunci kebahagiaan, namun dalam realitas yang ada sekarang, nilai ini sering kali dilupakan.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk melawan arus hedonisme yang begitu kuat ini? Perlu ada upaya dari berbagai pihak, terutama sekolah dan keluarga, untuk kembali menanamkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan siswa. Pendidikan agama tidak bisa hanya menjadi sekadar mata pelajaran yang diajarkan di kelas. Nilai-nilai ini harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi bagian dari karakter dan budaya sekolah. Misalnya, sekolah bisa mendorong kegiatan-kegiatan yang memperkuat solidaritas dan kepedulian sosial, seperti program bakti sosial atau penggalangan dana untuk membantu sesama. Selain itu, perlu ada pendekatan yang lebih kreatif dalam menyampaikan materi agama, yang tidak hanya menekankan pada teori, tapi juga praktik nyata dalam kehidupan siswa.
Keluarga juga memegang peranan penting. Orang tua harus menjadi contoh yang baik dalam menerapkan gaya hidup Islami yang sederhana dan penuh rasa syukur. Jika di rumah anak-anak melihat orang tua yang juga terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan hedonis, maka sulit bagi mereka untuk memahami makna kesederhanaan dan kebahagiaan yang hakiki. Di satu sisi, siswa juga perlu diberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna kebahagiaan dalam Islam. Bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari materi, tapi dari hubungan yang baik dengan Allah dan sesama manusia. Kebahagiaan itu berasal dari hati yang tenang, dari rasa syukur atas apa yang dimiliki, dan dari kemampuan untuk memberikan manfaat kepada orang lain.
Gaya hidup hedonis yang menggerus nilai-nilai Islami di sekolah memang menjadi tantangan besar di era modern ini. Namun, dengan pendekatan yang tepat, kita bisa mengatasi tantangan ini dan membantu siswa menemukan kembali makna hidup yang lebih dalam, yang tidak hanya berpusat pada kesenangan duniawi semata. Jika kita tidak bertindak sekarang, dikhawatirkan generasi mendatang akan semakin jauh dari nilai-nilai Islami, dan semakin sulit untuk menanamkan kesadaran spiritual yang sejati. Upaya bersama dari sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial sangat dibutuhkan untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kuat dalam iman dan karakter.
*) Penulis adalah Chairun Nisa Safitri, Mahasiswi Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.
Komentar0