Abd. Wafi, S.H., Magister Hukum Tata Negara UIN Sunan Ampel, dan merupakan calon Advokat Muda (Foto: Pribadi). |
Suaratime, Kolom -Kasus terbaru yang melibatkan Loly, putri dari selebriti Nikita Mirzani, yang menyebut ibunya dengan kata-kata kasar seperti "anjing" dan "goblok," telah mengguncang hati nurani seluruh bangsa. Insiden ini tak hanya menyedihkan, tetapi juga membuka mata kita semua terhadap krisis moral yang sedang menggerogoti masyarakat Indonesia. Ketika seorang anak, yang seharusnya tumbuh dalam lingkungan yang mendukung nilai-nilai etika dan moral, berani mengeluarkan makian kasar kepada ibunya sendiri, ini adalah cerminan dari keruntuhan peradaban kita. Situasi ini tidak bisa dilihat hanya sebagai masalah pribadi satu keluarga, tetapi lebih sebagai simbol kerusakan sosial dan budaya yang lebih besar di negeri ini.
Tentu saja, insiden ini menimbulkan pertanyaan: di mana kita salah? Seharusnya, peristiwa seperti ini membuat malu kita semua—dari Presiden, Menteri, Guru, Dosen, pemuka agama, hingga para anggota DPR. Mereka semua, sebagai figur publik dan pemimpin di bidangnya, memiliki peran dalam membentuk karakter bangsa. Namun, kenyataan pahitnya, kita menyaksikan bahwa pendidikan moral, etika, dan budi pekerti yang seharusnya menjadi fondasi peradaban justru mengalami degradasi.
Menurut beberapa ahli, insiden ini merupakan puncak dari krisis komunikasi dan pendidikan karakter yang tidak berjalan efektif di Indonesia. Psikolog sosial, seperti Dr. Aisyah Putri, mengungkapkan bahwa tindakan anak yang memaki orang tua dengan kata-kata kasar menunjukkan kegagalan pendidikan nilai-nilai dasar dalam keluarga. “Ketika seorang anak mampu menyebut orang tuanya dengan makian, ini menunjukkan ada celah besar dalam pendidikan emosional dan etika di rumah maupun di lingkungan sosial,” ujarnya. Menurutnya, generasi muda saat ini sangat terpengaruh oleh lingkungan sosial dan media, termasuk tontonan publik yang menormalisasi kekerasan verbal. Sehingga, tanpa bimbingan yang tepat, anak-anak bisa mudah terjerumus dalam perilaku negatif.
Pakar pendidikan, Prof. Dr. Hasan Alwi, juga menambahkan bahwa ini adalah buah dari sistem pendidikan yang kurang menekankan pentingnya pendidikan karakter. “Pendidikan di Indonesia terlalu fokus pada aspek kognitif dan akademis, sementara pembinaan karakter kurang diperhatikan. Akibatnya, generasi muda kurang memiliki ketahanan emosional dan etika yang kuat untuk menghadapi tantangan kehidupan,” katanya. Ia menyoroti pentingnya penanaman nilai-nilai moral dan adab sejak dini di lingkungan keluarga dan sekolah.
Krisis moral ini tidak hanya muncul secara tiba-tiba. Fenomena ini dapat dilihat sebagai hasil akumulasi dari berbagai keteladanan negatif yang dipertontonkan oleh banyak pihak di depan publik. Para politisi sering kali terlibat dalam perseteruan dan saling menghina di ruang publik, memberikan contoh buruk kepada masyarakat, terutama generasi muda. Mereka yang seharusnya menjadi teladan malah terjebak dalam narasi kekerasan verbal dan provokasi.
Tak hanya politisi, kalangan pendidik pun turut menjadi sorotan. Para guru dan dosen, yang seharusnya menjadi pembimbing moral dan intelektual, terkadang terjebak dalam praktik pengajaran yang kasar dan tidak pantas. Perilaku ini, meskipun mungkin hanya terjadi di beberapa tempat, cukup merusak persepsi tentang pendidikan di Indonesia. Alih-alih mendidik dengan kasih sayang dan penghargaan terhadap murid, sering kali yang muncul adalah kekerasan verbal dan penghinaan yang justru memperparah krisis ini.
Yang lebih menyedihkan lagi, para pemuka agama—yang seharusnya menjadi benteng moral terakhir bagi masyarakat—pun sering kali menggunakan bahasa yang kasar dan caci maki dalam dakwah mereka. Seolah-olah, makian dan kekerasan verbal menjadi instrumen yang sah untuk menyampaikan pesan moral. Padahal, sejarah mengajarkan kita bahwa peradaban yang agung selalu dibangun di atas fondasi kebijaksanaan dan tutur kata yang baik.
Fenomena ini juga diperparah oleh rusaknya hubungan antara generasi tua dan muda. Ketidakmampuan saling menghormati menjadi hal yang semakin sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua yang seharusnya menjadi teladan tidak mampu menunjukkan sikap yang patut dihormati, sementara anak muda, yang seharusnya menghormati orang tua, malah belajar untuk merendahkan dan menghina mereka. Ini adalah gambaran masyarakat yang tercerai-berai, di mana nilai-nilai dasar seperti saling menghargai dan berkomunikasi dengan baik telah sirna.
Menurut hukum Indonesia, tindakan menghina atau memaki seseorang, termasuk orang tua, dapat memiliki konsekuensi hukum. Dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penghinaan atau penistaan yang dilakukan di muka umum, termasuk melalui media sosial, dapat dikenakan hukuman penjara atau denda. Selain itu, dalam perspektif hukum Islam yang banyak dianut di Indonesia, menghormati orang tua adalah salah satu kewajiban yang paling utama, dan tindakan anak yang memaki orang tua dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap nilai-nilai agama. Dalam kasus ini, hukum tidak hanya melihat aspek pidana, tetapi juga moral dan sosial, yang menunjukkan betapa pentingnya hubungan yang baik antara orang tua dan anak.
Kosakata yang dipenuhi dengan kata-kata kotor seperti "anjing" dan "anjay" seolah telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik di ruang publik maupun privat. Ironisnya, ini menandai kehancuran budaya tutur kata yang beradab, yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa.
Tragedi seperti yang terjadi pada Loly dan Nikita Mirzani adalah alarm keras bagi kita semua. Kita perlu segera berbenah diri, mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikan dan pemerintahan. Jika tidak, kehancuran moral ini akan terus merusak, hingga seluruh prestasi yang telah dibangun oleh umat dan bangsa ini akan musnah, tenggelam dalam kekerasan verbal dan kehancuran nilai-nilai luhur yang seharusnya kita jaga.
Astaghfirullah, mari kita introspeksi diri dan memulai perubahan dari hal-hal kecil, terutama dalam menjaga tutur kata dan sikap terhadap sesama.
*) Penulis adalah Abd. Wafi, S.H., Magister Hukum Tata Negara UIN Sunan Ampel, dan merupakan calon Advokat Muda.
Komentar0