Penulis: Ari Wibowo, Ketua FKMSB Wilayah Yogyakarta. (Foto: Dok/Ist).
Suaratime, Opini- Dinamika politik di Indonesia kembali memanas menyusul keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang mengebut revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Langkah ini dilakukan sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan dua putusan penting yang mengubah syarat pencalonan dalam Pilkada. Dalam hitungan jam, Badan Legislasi (Baleg) DPR langsung menyusun revisi UU Pilkada yang justru menganulir putusan MK tersebut. Tindakan ini tidak hanya menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat, tetapi juga mengancam tatanan demokrasi dan kredibilitas lembaga legislatif.
Kecepatan yang Mencurigakan: Kepentingan atau Kepatutan?
Apa yang terjadi pada Rabu, 21 Agustus 2024, mengundang tanda tanya besar mengenai motivasi di balik revisi UU Pilkada yang dilakukan dengan sangat cepat. Bagaimana mungkin sebuah undang-undang yang sangat krusial dan berdampak luas pada proses demokrasi bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari tujuh jam? Tidak heran jika banyak pihak menduga bahwa revisi ini bukanlah upaya untuk memperbaiki proses demokrasi, melainkan untuk melindungi kepentingan politik tertentu yang merasa terancam dengan putusan MK.
Konflik Putusan: DPR Melawan MK?
Dua poin krusial dalam revisi UU Pilkada yang disetujui Baleg DPR jelas menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan MK. Pertama, terkait ambang batas pencalonan (threshold), di mana DPR tetap mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah, sementara MK telah menghapus ketentuan ini dan menggantinya dengan syarat berdasarkan jumlah pemilih tetap (DPT). Kedua, terkait batas usia minimum calon kepala daerah, di mana DPR menetapkan usia minimum saat pelantikan, bukan saat penetapan calon seperti yang diputuskan MK.
Protes Masyarakat dan Peran Konstitusi: Tanda Bahaya bagi Demokrasi
Tidak mengherankan jika keputusan DPR ini memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, organisasi masyarakat, hingga mahasiswa. Mereka melihat tindakan DPR sebagai bentuk pembangkangan hukum yang bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang putusannya bersifat final dan mengikat, seharusnya menjadi rujukan utama dalam pembuatan undang-undang, bukan malah diabaikan demi kepentingan politik jangka pendek.
Sementara Konstitusi, berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara dan melindungi hak-hak warga negara. Namun, ketika konstitusi dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan, esensi dari demokrasi itu sendiri terancam. Keputusan DPR untuk dengan cepat merevisi UU Pilkada tanpa mempertimbangkan putusan MK adalah cermin dari bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan. Jika ini dibiarkan, tidak hanya kepercayaan publik terhadap DPR yang akan hancur, tetapi juga legitimasi seluruh proses demokrasi di negeri ini.
Masa Depan Demokrasi: Suara Rakyat yang Tak Boleh Dibungkam
Kritik dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa yang selalu menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan demokrasi, menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak akan diam saja ketika konstitusi diinjak-injak. Mahasiswa, sebagai kaum intelektual, harus terus mengawal proses demokrasi dengan kritis dan tidak terjebak dalam kepentingan politik sempit. Suara rakyat adalah suara demokrasi, dan suara itu tidak boleh dibungkam oleh kepentingan elit yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak konstitusional.
Konstitusi adalah benteng terakhir dalam menjaga keadilan dan ketertiban dalam bernegara. Ketika DPR mencoba untuk melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh konstitusi, maka saat itulah rakyat harus bersatu untuk mempertahankan demokrasi dan menolak segala bentuk otoritarianisme yang mengancam hak-hak dasar mereka.
*) Penulis adalah Ari Wibowo, Ketua FKMSB Wilayah Yogyakarta.
Komentar0