Mari berfirman dengan kalam puja-puji
yang dihiasi sesajen sejadah dan tasbih
untuk bergumam sekeras munkin
hujani dengan air mata kesedihan "Ya Mujibassailin"
junjung seluruh mukjizat yang penuh paruh
dan diam dengan raut tertaruh
dari sesajen ini, tak ungkapnya sebuah cerita luapan jiwa
yang merintih pada Maha kasih, mengemis untuk mengadu nasib
dengan jambe-jambe yang tak terhitung dengan perlengkapannya
bahkan sungkem, dengan seribu arah karena tak dapat arah.
ya, ini perihal aku dan sesajen
yang salah arah atau hanya sesajen saja yang salah.
aku tak pasrah pada jambe-jambe yang dikhitbahkan lewat penghianatan
atau pada doa yang tertukar atau memang ditukar.
ini juga, perihal asma yang terselubung asam.
apakah saya harus protes dan menyediakan pemintasan kembali
untuk berdemonstrasi perihal waktu dan doa yang tertukar
atau saya harus mengamini dengan bahagia rindu yang selalu setia
justru aku malu, aku siapa di hadapanNya
bukankah, aku hanya serpihan sampah
yang selalu protes dan minta-minta layaknya pengemis
rindu memang keabadian yang tak terelakkan.
dan kebohongan adalah candu yang diselimuti candaan untuk mengalihkan
tanpa keikhlasan.
disini aku bergumam dengan syukur untuk tak berharap tambahan,
melainkan ada satu jiwa dan beberapa nafas yang sudah ditukar
membincangkan perihal "kembalikan nafasku, pada doa yang tertukar".
agar aku bisa merajut kembali pada jiwa-jiwa
yang siap bercumbu dengan keikhlasan tanpa janji-janji yang harus dikorbankan,
dan tanpa "kacong" baru yang akan mengendus goa kenikmatan.
Wafil M
Aktivis dan Sastrawan
Yogyakarta, 17 Desember 2019.
Komentar0