GUdpBSYpTSd0TSY5TUW8TSC5TA==

Sekilas Sudut Pandang Hukum Terhadap Penunjukan Ahok Sebagai Bos BUMN


Oleh; Wafil M
gambar diambll dari; Bbc.com

Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dikenal sebagai pak Ahok, dikabarkan akan masuk ke salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal ahok berstatus sebagai mantan Narapidana, setelah Majlis Hakin pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjjara kepada pak ahok.
Isu pak ahok muncul sebagai kandidat Bos (Jabatan Tinggi) di salah satu BUMN setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) Erick Thohir memberikan sinyal menempatkaan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau pak Ahok sebagai pimpinan di salah satu BUMN.
Baru-baru ini nama pak Ahok pun juga masuk dalam survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pak ahok juga digadang-gadang maju sebagai Wali Kota Surabaya pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020.
Secara hukum, dalam menanggapi isu ini tercantum dalam pasal 45 ayat (1) UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN, larangan bagi seseorang untuk menjadi calon direksi BUMN adalah pernah melakukan tindak pidana yang merugikan negara.
Berikut bunyi pasal tersebut:
"Yang dapat diangkat sebagai anggota Direksi adalah orang perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau Perum dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara."
Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Achmad menjabarkan dari aspek hukum, masalah pak Ahok sebagai mantan narapidana dan isu yang digadang-gadang akan menjadi Bos di BUMN. beliau menjelaskan, syarat menjadi menteri di atur dalam Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam pasal itu diatur bahwa menteri tidak boleh dipidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Dalam kasus penistaan agama, pak ahok di ancam dua dakwaan alternatif yakni Pasal 156 dan 156A UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman pidana dalam Pasal 156A yakni 5 tahun. BTP dalam kasus ini dikenai Pasal 156 KUHP dengan tuntutan 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2017 lalu.
Sehingga menurut Suparji, mantan narapidana seperti pak Ahok tidak bisa menjadi menteri. "Orang yang pernah punya masalah dengan hukum dan dinyatakah bersalah oleh pengadilan yang inkracht, tidak memiliki ruang sebagai pejabat publik," kata Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Suparji juga menambahkan perbedaan pencalonan mantan narapidana jadi kepala daerah. Menurutnya, dalam UU Pilkada tidak melarang mantan narapidana maju Pilkada. Hal itu juga dipertegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIII/2015. Namun MK mensyaratkan mantan narapidana tersebut harus secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.
Putusan MK tersebut juga berlaku bagi mantan narapidana menjadi calon legislatif (caleg). Dipertegas lagi dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MK) yang membatalkan dan mencabut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang berisi larangan mantan narapidana kasus korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan seksual, maju sebagai caleg. Pasalnya, dalam UU Pemilu tidak mengatur larangan mantan narapidana nyaleg.
Dari dua Undang-Undang di atas UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Suparji mengakui ada pemberlakuan berbeda di setiap pemilihan jabatan publik. Sehingga pemberlakuan UU nya pun berbeda. Apalagi setelah adanya judical review atau uji materi UU di MK. Beliau mempunyai pandangan ada inkonsistensi dari pembuat UU yakni pemerintah dan DPR. Seharusnya, mengacu pada putusan MK dan MA yang dijabarkan di atas, maka mantan narapidana bisa menjadi menteri, presiden, wakil presiden maupun jabatan publik lainnya.
Suparji juga menegaskan bahwa seseorang yang pernah punya masalah dengan hukum dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht, secara etika tidak memiliki ruang sebagai pejabat publik. Manurutnya, "Masih banyak orang yang tidak bermasalah. Itulah prioritas yang harus diberi kesempatan."

Komentar0

Type above and press Enter to search.