Selamat pagipuisiku
Selamat mellek kembali
Selamat bersemedi
Selamat mendiskusikan diri, dan
Selamat apakah masih sibuk melupakan bau badanku?
Jika puisi bukan luapan hati
Maka sudah aku nikahi ngkau dengan seluruh dosa ini
Jika puisi adalah luapan raga
Maka seumur-umur tak akan ada dia
Jika puisi (ku) adalah nafsu birahi maka terimakasih sudah menggurui
Dari seluruh peta yang tertera dikamar
Dari seluruh keragaman yang kita diskusikan, dan
Dari ampas perjalanan
Jiwa dan raga menyatu pada persatuan selangkangan
Maka aku bertanya puisi(ku),
Untuk apa dan untuk siapa?
Ya! Puisiku ada saja dan ada saya
Karena puisi adalah luapan hati.
Dari pojok kamar masjid setelah kita berdikari
Dari kunang-kunang dan gemintang yang melupakan ingatan, dan
Dari lelucon dosa yang berhamburan.
Kita masih sempat bertanya,
Kapan kita akan berpuisi layaknya nabi dan siti aisyah yang resmi sebagai istri.
Meski dalam habitatnya kita juga sama tau
Bahwa puisi kita sudah sama-sama layu dan sama-sama merdu,
Dan tak pernah ragu dimakan waktu.
Sekarang aku bertanya wahai puisiku
Apakah engkau itu dosa, atau
Saya yang berdusta bersama ilalang yang menimpa pada ovum dan sperma?
Atau saya yang tak tau berpuisi.
Hingga pendosa tak pernah berpahala.
Kau ingat, puisiku?
Pada awal bulan kita berkata.
Pada tengah bulan kita bertanya. Dan
Pada akhir bulan kita menduga.
Saat bulan lahir adakah senyum indah yang bersamamu atau kita.
Saat bulan menengah adakah rasa sakit untuk memirahkanmu. Dan
Saat akhir bulan, jangan sampai diantara banyaknyaa biji mahoni
Ada yang tumbuh.
Yogyakarta, 06 November 2019
Komentar0