Ada kongko-kongko di hutan rimba sana
Mereka mengaung mengerdilkan merampas untuk lepas
Menebang pohon-pohon rindang di pinggirnya
Membuat megah istananya dengan hiasan penderitaan arwah gentayangan
Tidak menyentuh namun angkuh
Taringnya mengais besi lapis
Warna lembaran menjelma transaksi mati
Padahal para pengadah di lampu merah
Tak satupun tengadah itu tumpah
Bahkan tak usah diasah
Dan terkadang tak cukup untuk setetes darah.
Penghuni hutan rimba
Sumpahku untuk mu
Di setiap jengkal masa jarum jam mengelilingi istiqomahnya
Akan aku selipkan duri untuk menjadi api
Agar kau tahu bahwa kami ada dengan penuh sengsara
Agar kau tahu bahwa disetiap tetes darah yang mengalir
Akan aku ukir dengan pedang yang menjadi saksi tumbalnya non-pahlawan
Penghuni hutan rimba
Sumpahku untuk mu
Saat menyengat bulu nadi
Amblas istanamu
Ku jadikan arang dan tulang belulang
Agar kau tahu bahwa dosa yang kau ukir
Akan mengabdi didampingi dzikir, fikir
dan amal sholeh.
Tak tahu itu asa akan diperoleh
Atau hanya bayang yang akan ditoleh
Kasat mata, bahwa derai tangis dan tertawa layaknya nafas
Yang aku lupa saat tertawa
Dan!
Ku jadikan kau pengadah di lampu merah.
تقبل الله مناومنكم اللهم تقبل ياكريم
Yogyakarta, 27 Maret 2018
Komentar0